Generational Conflict

Generational Conflict tidak secara sempit berarti konflik antar generasi, tetapi istilah yang secara luas memayungi ketegangan atau ketidaksepakatan yang dapat terjadi antara beberapa generasi. Uniknya, ketegangan ini bisa sama sekali tidak dirasakan sebagai konflik, tetapi sekadar sebagai perbedaan saja, tetapi perbedaan ini sedemikian rupa terjadi dari hal yang paling substansial sampai hal yang paling remeh temeh. Sehingga, masing-masing kelompok dapat memegang kebenaran dan kebaikan masing-masing yang secara sahih diterima; sama-sama tulus dan otentik, sama-sama memegang nilai, sama-sama memegang nilai integritas, tetapi bisa sama-sama berbeda, bahkan bertentangan.

Generational Conflict hadir dalam ruang perjumpaan bersama, menyangkut beberapa hal mendasar, seperti:

  1. Nilai dan keyakinan. Nilai dan keyakinan hidup dibentuk oleh relasi individu dengan masyarakatnya. Perubahan konteks masyarakat lokal-global, masa lalu-kini-masa depan, di sini – di sana bisa menyebabkan apa yang dianggap benar, baik, dan indah oleh sebuah kelompok tidak dianggap demikian oleh kelompok (termasuk kelompok generasi) yang berbeda.
  2. Perubahan psikososial dan pola relasi. Perubahan pola relasi terjadi secara internal (psikososial), maupun dalam relasi dengan pihak luar (digital-manual, relasi langsung tetap muka – relasi tidak langsung melalui media). Generasi yang berbeda memiliki sistem psikososial yang berbeda dan pola relasi yang berbeda. Karena masing-masing bertumbuh dengan pola generasinya, maka masing-masing menganggap pola yang diterimanya sebagai kebenaran. Perbedaan ini dapat menyebabkan ketegangan, “kok anak zaman sekarang seperti ini”, “kok begini salah, begitu salah, padahal sudah melakukan yang terbaik”, “kok rasaya ditinggal dan tidak dihargai”, dan seterusnya.
  3. Pencapaian generasi. Situasi umum yang terjadi di GKJW pada beberapa tahun terakhir, ketika generasi muda dianggap kurang mampu, atau generasi tua dianggap sulit menerima perubahan, bahkan sampai mengangkut perbedaan pola pendekatan pastoral bisa jadi muncul karena ketidaksadaran atas generational conflict. Apa yang dianggap pencapaian oleh sebuah generasi (baik generasi yang lebih terdahulu, maupun generasi yang lebih kemudian) tidak dianggap sebagai capaian oleh generasi yang lain, sehingga muncul perbedaan pandangan pada karya GKJW yang alih-alih menuju kesatuan, justru distingsi.
  4. Ketidakadilan berbasiskan usia. Pada akhirnya, jika tidak terjembatani generational conflict bisa mengarah pada kekerasan sebagai bentuk ketidakadilan. Generational conflict ini tidak selalu muncul dalam bentuk ketegangan atau kekerasan langsung (direct violence), tetapi lebih pada situasi ketegangan struktural (sistem kuasa yang tidak seimbang) dan kultural (demikianlah cara hidup kita, ini yang kami anggap sebagai kebenaran). Tanpa disadari ada kelompok-kelompok yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh kelompok lain dan berpotensi melakukan ketidakadilan yang sama pada masa yang lain. Situasi kesehatan mental yang beberapa tahun belakangan menjadi fenomena serius di generasi muda sangat mungkin terjadi karena generational conflict yang tidak disadari, sehingga muncul tuntutan yang oleh sebuah generasi dianggap kewajaran, di generasi lain dianggap mengikat dan memaksa.

Uraian di atas jika tidak disikapi secara bijaksana, akan menyebabkan  Tubuh Kristus yang satu bisa semakin terpecah-pecah. Klaim-klaim salah-benar, baik-buruk dan sejenisnya bisa muncul karena hal tersebut. Gereja menjadi ruang penghakiman berdasarkan nilai yang diikutinya, tetapi secara kurang adil menjustifikasi nilai lain yang dianggap berbeda.

Seorang vikar perlu menyadari bagaimanakah situasi generational conflict ini terjadi pada dirinya, sekaligus membaca dengan cermat, apresiatif, dan kritis situasi generational conflict di tempat pelayanannya dan masyarakat sebelum menjadi pendeta. Dari sana upaya menjadi rekan kerja Allah mewujudkan tanda Kerajaan Allah bagi ‘segenap ciptaan’ bisa dilakukan dengan lebih menyeluruh. Tidak sekadar mengasihani atau sebaliknya mengasingkan dirinya. Tidak sekadar menuntut, merasa dipaksa atau melulu memaksa dirinya dengan tidak adil menjadi pribadi yang tidak otentik. Tidak memanipulasi nilai dan integritas diri dan masyarakat. Namun, bisa merengkuh kekayaan ciptaan Tuhan, melihat wajah Allah dalam segala perbedaan, yang pada akhirnya membuat dan menghayati (menghidupi) Tuhan yang menjadi semua di dalam semua.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content