Lectio Divina

Narasi

Lectio Divina adalah praktik kuno dari warisan kontemplatif Kristen. Praktik ini menjadi praktik rutin di biara-biara pada masa Santo Benediktus pada abad ke-6. Kemunculan kembali Lectio Divina saat ini banyak berutang pada reformasi Konsili Vatikan II dan kebangkitan dimensi kontemplatif Kekristenan. Saat ini, Lectio Divina dipraktikkan di biara-biara dan oleh banyak komunitas umat Kristen di seluruh dunia, termasuk di GKJW melalui PPS Kori Menga. 

Frasa Latin “lectio divina” dapat diterjemahkan sebagai “bacaan ilahi.” Lectio divina adalah sebuah metode untuk berdoa dengan Kitab Suci. Saat seseorang membaca dan mengundang Firman untuk menjadi lensa yang mentransformasi yang membawa peristiwa kehidupan sehari-hari menjadi fokus, seseorang dapat hidup dengan lebih dalam dan menemukan kehadiran Allah dengan lebih mudah dalam peristiwa-peristiwa setiap hari. 

Metode lectio divina mengikuti empat tahap: lectio (membaca), meditatio (meditasi), contemplatio (kontemplasi), dan oratio (doa). Dalam praktiknya ada dua tradisi utama (selain tradisi-tradisi kecil variannya) dalam mempraktikkan Lectio Divina: skolastik dan monastik.

Bentuk skolastik dikembangkan pada Abad Pertengahan dan membagi proses Lectio Divina menjadi empat tahap lectio divina tersebut secara hierarkis dan berurutan. Bentuk monastik dari Lectio Divina adalah metode yang lebih kuno di mana keempat tahapa tersebut dialami sebagai momen daripada langkah-langkah dalam suatu proses. Dalam bentuk ini, interaksi di antara momen-momen tersebut dinamis dan pergerakan melalui momen-momen tersebut mengikuti dorongan spontan dari Roh Kudus. Sehingga tidak selalu harus berurutan. Meskipun muncul berbagai macam tradisi, tetapi arah lectio divina tetap: untuk masuk ke dalam percakapan dengan Allah dan menumbuhkan karunia kontemplasi.

 

Aksi

  1. “Lectio,” atau “membaca,” adalah langkah pertama dalam proses doa. Dalam sejarahnya, para biarawan awal memahami bahwa hasil yang subur dari doa seseorang tergantung pada kesederhanaan, kesucian, dan keterbukaan terhadap Roh dengan cara “pembaca” mendekati Firman Allah. Tujuan dari membaca ini bukanlah untuk tergesa-gesa melalui beberapa pasal Kitab Suci. Pembaca, daripada mencoba untuk menyerap bagian-bagian besar dari Kitab Suci, mengadopsi sikap reflektif terhadap suatu ayat pendek, berhenti sejenak pada sebuah kata atau frasa tunggal yang beresonansi dengan pikiran dan hati.
  2. “Membaca” ini mengarah ke langkah kedua, yang dikenal sebagai “meditatio”—Latin untuk “meditasi”—yang mengundang seseorang untuk merenungkan apa yang telah dibaca. Para biarawan kuno menjelaskan proses ini sebagai pemikiran yang dalam, tanpa terburu-buru tentang Firman yang telah dibaca—sebuah renungan, agak mirip dengan cara seekor sapi mengunyah cud. Ketika Firman dibaca dalam langkah ini, proses merenung secara perlahan-lahan menarik fokus meditator dari kekhawatiran pikiran ke kekhawatiran hati.
  3. Kata-kata memindahkan seseorang lebih dalam dengan langkah ketiga, yang disebut sebagai “contemplatio” atau “kontemplasi.” Kontemplasi ditandai dengan keterbukaan hati, di mana pembaca mengalami Allah sebagai Dia Yang Berdoa di dalam diri kita, yang memungkinkan orang yang dalam kontemplasi untuk mengenal Firman tanpa kata dan tanpa gambar. Dengan anugerah Allah, contemplatio memberikan seseorang kemampuan unik untuk menghubungkan wawasan yang baru ditemukan dengan pengalaman kehidupan sehari-hari, dengan inspirasi yang datang dari Firman Allah dan dari sana dia mendapatkan kesegaran hati dan pikiran.
  4. Langkah keempat dan terakhir, “oratio,” berarti “doa” (atau “persembahan”), mengundang tanggapan pribadi seseorang kepada Allah. Tanggapan ini bersifat dialogis dan dapat dipahami sebagai “percakapan antara teman”. Seseorang meluangkan waktu untuk berbicara dengan Tuhan tentang apa yang telah dibaca, didengar, atau dialami, atau tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kedalaman keberadaannya. Tanggapan ini dapat menjadi transformatif ketika seseorang menerima dorongan dari Firman untuk memeluk semua yang saat ini ada dalam hidup. Seseorang dapat menemukan Allah dalam naik turunnya kehidupan, dalam waktu suka dan duka, serta dalam momen-momen sehari-hari yang biasa.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content